REINKARNASI REZIM APARTHEID
Artikel ini saya tulis sekitar 7-8 tahun yang lalu. Bagaimana perspektif getir saya saat itu terhadap lingkup masyarakat yang setiap hari alami. Saya tahu, tulisan ini akan sangat hiperbolik, satir dan sarkas ataupun juga bisa dirasa berlebihan bagi sebagian kalangan yang membaca. Inilah saya saat berusia belasan tahun, memprotes segala dogma dan tatanan sosial yang ada. Tak saya rubah satu pun kata sejak saya menulisnya pertama kali. Membaca ulang tulisan ini, mengingatkan saya bagaimana pola pikir, cara menulis dan bagaimana saya memandang kehidupan bersosial di kacamata anak berumur 18 tahun.
Perempuan berjilbab model terkini, baju stylish dan celana skinny jins masuk masjid. Sholat dua rakaat, bertasbih, bertahmid, bertakbir, bershalawat dan berdoa singkat kepada Allah SWT. Melipat mukena, memasukkan ke dalam tas dan menghampiri dua perempuan di shaf paling belakang yang sedang melipat mukena. Perempuan satu pemakai gamis gombrong hitam dan jilbab kelam sedang mengobrol dengan perempuan kedua yang merapikan jilbab panjangnya.
“Sedang ngobrolin apa?” tanya perempuan stylish si korban mode. “Eh enggak kok,” seloroh perempuan jilbab hitam. Kemudian perempuan berjilbab lebar kedua membisikkan kata-kata yang hanya bisa didengar perempuan berjilbab hitam.
“Kok ngomongnya bisik-bisik sih, kalau ngomong bertiga tapi ada satu yang ga diajak ngomong bahaya lho. Nanti bisa tersinggung dan menimbulkan fitnah.” Pinta si stylish. Kedua perempuan yang ditanya cuma tersenyum lemah tidak menjawab.
“Besok sore jadi pengajian kan? jam berapa sih? Aku belum di sms.” Si stylish bertanya lagi. “Bada’ ashar, pematerinya Kyai sudah haji tiga kali pemilik pesantren dari Tegal. Tapi kalau mau ikut harus pakai rok,” perempuan berjilbab lebar kedua akhirnya ada suaranya. “Emang kyai nya bilang yang hadir pengajian harus pakai rok gitu?”, “ya enggak sih, cuman lebih sopan aja. Lebih syar’i.” tukas si jilbab hitam.
Lebih sopan saja. Lebih syar’i. Lebih enak kalau dilihat. Jilbab adalah mahkota muslimah. Nahkoda menuju kelembutan hati, menghindarkan dari sifat tercela dan kompas yang menjauhkan dari sifat menang sendiri. Jilbab seharusnya membuat pemakai menjadi rendah hati, bukan menggurui. Menjadi lebih bijak tidak serta menjustifikasi. Murni penutup aurat sakral yang tidak akan pernah merasa tinggi hati dan paling dekat dengan penciptanya.
Apapun sanggahannya, tanpa kompromi jilbab yang syar’i adalah penutup kepala wanita kecuali wajah, terbujur menutupi dada. Tidak menambahkan sanggul di belakang kepala seperti punuk unta. Memakai pakaian yang tidak memperlihatkan lekuk tubuh adalah yang paling tepat. Boleh modis, tapi syar’i. Boleh ke Mall, tapi tetap rutin ke masjid dan membaca Al-Quran. Tidak melewatkan sedekah dan zakat. Menjadi makhluk agamis, berintelektualitas, tidak kebablasan feminisme dan liberalisme.
Menjadi tergugat jika jilbab lebar menjadi sarana diskriminasi kepada pelaku jilbab minim. Perempuan berjilbab lebar tidak seharusnya menjadi eksklusif, begitu juga perempuan berjilbab modis tidak boleh tinggi hati, takabur dan berprasangka buruk pada saudara seiman berjilbab lebar.
Yang berjilbab lebar bergaulnya dengan jilbab lebar lainnya. Yang korban mode ke Mallnya sama korban lainnya. Minoritas kulit putih hidup dengan kulit putih. Manusia pribumi kulit hitam hidup dengan mayoritas hitam lainnya. Hampir sama tidak?
Rezim Apartheid berkuasa di belahan Afrika mulai tahun 1948, secara opresif menghapus hak asasi warga non kulit putih. Entah sadar atau tidak, virus tersebar sampai penjuru Indonesia.
Apart memisah, heid sistem atau hukum. Memisah bangsa ningrat kulit putih dari bangsa kulit hitam yang mereka anggap sangat kotor dan tidak terawat. Muslimah jilbab besar memisahkan diri mereka dari pasukan jilbab sedang, komunitas jilbab kecil apalagi, malah tambah di acuhkan. Muncul anggapan manusia non jilbab panjang ini tidak sesuai syar’i, well... itu bisa diterima. Tapi kalau derajat keimanan mereka lebih rendah? Cuma tahu mode saja, tapi tidak hafal hadist? Sudah pasti bukan ahli sunnah? Bahkan, tidak akan masuk surga?.
Apakah sudah ada jaminan yang berjilbab besar pahalanya lebih besar daripada yang modis? Apakah ada jaminan seorang kyai akan membuka gerbang surga lebih dulu dari muridnya?.
Kalau mempunyai pola pikir seperti ini, apa bedanya dengan kompeni pengeruk emas di Benua Afrika pada tahun 1950 an? Mengaku Islam, tapi menjustifikasi seseorang dari berapa meter kain yang menutupi kepalanya? Gosong tidak dahi nya? Atau cingkrang tidak celana nya?
Ketaqwaan sama halnya dengan prestasi. Dimana orang akan diganjar pahala sesuai tingat kredibilitas beribadah, keikhlasan berzakat dan santun perilakunya. Allah swt tidak akan memandang bulu. Entah kulit hitam atau putih, sutra atau goni, raden atau abdi, mubaligh atau hadirin pengajian, dan terakhir, laki-laki atau wanita.
Intinya adalah, entah itu jilbab panjang atau hijabers modis, dahi gosong dengan dahi kutilan jerawatan dan celana cingkrang plus gamis versus kaos oblong plus celana futsal, semua luaran yang kita pakai itu adalah sebuah pilihan. Ketaqwaanlah yang merupakan kewajiban. Karena sesungguhnya di mata Allah swt semua makhluk itu sama.
Sincerely, 18 years old of me,
Karima Sindhunanti.
Komentar
Posting Komentar