ROTI DAN SIRKUS



Dahulu kala nun jauh di Roma, peyair satir bernama Juvenal membuat konteks yang berjudul Panem Et Circences (Roti dan Sirkus), bercerita tentang rakyat Romawi yang menukar keterlibatan dan hak asasi politiknya dengan makanan dan hiburan.


Already long ago, from when we sold our vote to no man, the People have abdicated our duties; for the People who once upon a time handed out military command, high civil office, legions — everything, now restrains itself and anxiously hopes for just two things: bread and circuses. -- (Juvenal, Satire 10.77-81)


Juvenal mengkritisi senator Romawi yang memberikan gandum gratis serta permainan sirkus mahal kepada rakyat miskin untuk mendapatkan kekuasaan politik. Strategi populer ini dimulai oleh politisi Gaius Sempronius Gracchus, kemudian berhenti ketika Romawi dipimpin oleh kaisar autocratic.


Sedikit berbeda, masyarakat melarat dan old voters Indonesia lebih suka dengan uang dan rokok. Money politics dengan benda riil sudah biasa. Tak makan pun tak apa, asal asap rokok mengepul.

Lain lagi generasi mudanya. Young voters ditilik dari intelejensinya, mampu untuk berpolitik. Mempunyai akal yang analitis, dan sanggup menanggung beban arti dari kata demokrasi. Namun segala drama panggung yang dipentaskan lakon politik di negri yang tertatih berdiri, serta paceklik ekonomi membuat muda-mudi jengah.

Beriringan dengan perkembangan zaman, persaingan bertahan hidup kian ketat. Generasi muda dituntut untuk menaikkan level kualitas dirinya. Kami dibentuk seperti robot penurut dengan satu tujuan, hidup mapan. Menjadi kelas menengah, mendapat pekerjaan tetap, mampu mencicil rumah dan mobil. Drama politik amoral menjadikan kami bebal. Kami cuek, yang penting kami tak pusing dengan apa yang kami makan hari esok, internet dan televisi dapat dijangkau, hidup berada dipusara moderat.

Hal ini menjadikan konteks karya Juvenal dan potret kehidupan young voters di negeri ini ada korelasinya. Terjajah secara ekonomi, terjajah secara mental. Kami malas mengamati pergerakan politik negeri kami sendiri. Kami malas menetukan pilihan saat pemilu. Kami adalah golongan putih. Membuang muka kepada setiap kebiadabapan tindak politik yang tak berpihak kepada kepentingan negara, melainkan kepentingan golongan. Secara perlahan lahan kami mulai putus asa, menyerah, menyerahkan segala hak politik kami demi makanan dan hiburan. Roti dan Sirkus.

Buta terburuk adalah buta politik! kata penyair dan dramawan Jerman, Bertolt Brecht. Karena orang yang buta politik tak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung keputusan politik. Kemudian membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar "Aku benci politik!". Sungguh bodoh dia, yang tak mengetahui bahwa karena dia tak mau tahu tentang politik akibatnya adalah pelacuran, anak terlantar, perampokan, dan yang terburuk, korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negeri.


Bertolt Brech  Image source



Terjepit, berhenti, konstan. Politik bukan siapa yang baik dan buruk, atau benar dan salah. Tak ada dalam sejarah politik, setiap manusia tertinggi berwarna putih atau hitam. Mereka semua abu-abu. Abu-abu berdesir yang tertiup ke arah pasir putih atau abu-abu yang ditarik lubang hitam. Politik adalah bukan untuk memilih yang terbaik, melainkan mencegah yang terburuk berkuasa.

Apa yang bisa menyelesaikan berbagai masalah di dunia: perut yang kenyang penuh makanan atau pikiran yang kaya dengan pengetahuan?. Memposisikan diri kami pada posisi netral tidak membawa kami kemana-mana. Mungkin, nanti tiba saatnya kebebalan kami terhadap politik akan menjadi bumerang bagi kami sendiri. Jangankan negeri kami, negara adidaya seperti Inggris dan Amerika saja sudah merasakannya.




Demi pena dan apa yang dituliskannya, 
Selamat bermuktamar yang ke 20, Pelajar Muhammadiyah!
Much love, Karima Sindhunanti.

Komentar

Postingan Populer