BIYUNG
Salah satu legenda rakyat yang paling saya ingat sejak kecil adalah cerita mengenai Pelengkung Madyasura, pintu gerbang Keraton Jogjakarta yang menghadap ke Utara.
Berbeda dengan 4 Pelengkung yang lain, Pelengkung Madyasura telah ditutup dengan semen sehingga tidak nampak dahulunya adalah pintu gerbang.Banyak versi cerita yang muncul mengenai Pelengkung Madyasura. Yang paling terkenal adalah legenda mengenai Kartipeya, seorang pemuda tampan yang gemar memikat gadis desa yang masih perawan. Singkat cerita, hampir setiap hari selalu ada berita bahwa Kartipeya berhasil menggaet seorang perawan. Para orangtua resah, akhirnya dilakukan penyelidikan mengapa Kartipeya bisa begitu sakti. Diperoleh keterangan bahwa setiap kamis malam, Kartipeya selalu pergi ke hutan Krendhowahono, menjelang pukul tiga pagi sebelum ayam berkokok, Batari Durga turun mendekati Kartipeya yang tengah bersemedi. Kartipeya selalu meminta keinginan yang sama, ingin digandrungi perawan-perawan mana saja di desa yang dia datangi.Batari Durga mengabulkan permintaan tersebut, memberi pantangan agar ia tidak berbuat mesum di di bawah Pelengkung Madyasura, diperingatkan jika ia melanggar ia bisa mendapat malu bahkan sampai tewas. Tatkala informasi ini sampai ke tetua kampung, mulailah warga menyusun rencana, namun tetua memperingatkan cukuplah dibuat malu, dilukai pun tidak diperkenankan. Diambillah tiga batang lidi enau yang harus diletakkan di bawah Pelengkung Madyasura.
Hari berikutnya terdengar kabar Kartipeya sedang mengincar Rara Sukresthi, perawan yang dikenal sangat elok wajahnya. Menghindari sesuatu yang lebih bakal terjadi, selepas magribh tetua kampung menaruh 3 lidi enau dengan harapan Kartipeya akan lupa pesan Dewi Uma dan melanggar pantangannya. Jelasnya, lidi itu akan bertenaga menarik Kartipeya masuk ke bawah Pelengkung Madyasura yang seharusnya dihindari. Beberapa orang pemuda diminta bersiap-siap tidak jauh dari pelengkung itu. Tujuannya, jika Kartipeya masuk ke bawah pelengkung, mereka akan berteriak-teriak.Sesuai rencana, menjelang tengah malam Kartipeya membawa Sukresthi masuk ke bawah Pelengkung Madyasura Begitu kaki Kartipeya menginjak tanah Pelengkung Madyasura, ia berteriak keras. Ia mengira, tiga buah lidi itu tiga ekor ular. Bersamaan dengan itu, muncullah pemuda-pemuda sambil membawa obor serta berteriak-teriak. Nahas salah seorang pemuda yang juga menaruh hati pada Sukresthi membakar Kartipeya dan pemuda lainnya melempari dengan batu. Bahkan lebih ganas lagi, mereka menyerbu dan memukul dengan senjata tumpul lainnya. Sampai ajalnya, ia bergumam "Biyung... tulung, biyung... tulung...!".
Berbeda dengan 4 Pelengkung yang lain, Pelengkung Madyasura telah ditutup dengan semen sehingga tidak nampak dahulunya adalah pintu gerbang.Banyak versi cerita yang muncul mengenai Pelengkung Madyasura. Yang paling terkenal adalah legenda mengenai Kartipeya, seorang pemuda tampan yang gemar memikat gadis desa yang masih perawan. Singkat cerita, hampir setiap hari selalu ada berita bahwa Kartipeya berhasil menggaet seorang perawan. Para orangtua resah, akhirnya dilakukan penyelidikan mengapa Kartipeya bisa begitu sakti. Diperoleh keterangan bahwa setiap kamis malam, Kartipeya selalu pergi ke hutan Krendhowahono, menjelang pukul tiga pagi sebelum ayam berkokok, Batari Durga turun mendekati Kartipeya yang tengah bersemedi. Kartipeya selalu meminta keinginan yang sama, ingin digandrungi perawan-perawan mana saja di desa yang dia datangi.Batari Durga mengabulkan permintaan tersebut, memberi pantangan agar ia tidak berbuat mesum di di bawah Pelengkung Madyasura, diperingatkan jika ia melanggar ia bisa mendapat malu bahkan sampai tewas. Tatkala informasi ini sampai ke tetua kampung, mulailah warga menyusun rencana, namun tetua memperingatkan cukuplah dibuat malu, dilukai pun tidak diperkenankan. Diambillah tiga batang lidi enau yang harus diletakkan di bawah Pelengkung Madyasura.
Hari berikutnya terdengar kabar Kartipeya sedang mengincar Rara Sukresthi, perawan yang dikenal sangat elok wajahnya. Menghindari sesuatu yang lebih bakal terjadi, selepas magribh tetua kampung menaruh 3 lidi enau dengan harapan Kartipeya akan lupa pesan Dewi Uma dan melanggar pantangannya. Jelasnya, lidi itu akan bertenaga menarik Kartipeya masuk ke bawah Pelengkung Madyasura yang seharusnya dihindari. Beberapa orang pemuda diminta bersiap-siap tidak jauh dari pelengkung itu. Tujuannya, jika Kartipeya masuk ke bawah pelengkung, mereka akan berteriak-teriak.Sesuai rencana, menjelang tengah malam Kartipeya membawa Sukresthi masuk ke bawah Pelengkung Madyasura Begitu kaki Kartipeya menginjak tanah Pelengkung Madyasura, ia berteriak keras. Ia mengira, tiga buah lidi itu tiga ekor ular. Bersamaan dengan itu, muncullah pemuda-pemuda sambil membawa obor serta berteriak-teriak. Nahas salah seorang pemuda yang juga menaruh hati pada Sukresthi membakar Kartipeya dan pemuda lainnya melempari dengan batu. Bahkan lebih ganas lagi, mereka menyerbu dan memukul dengan senjata tumpul lainnya. Sampai ajalnya, ia bergumam "Biyung... tulung, biyung... tulung...!".
Sampai sekarang, cerita angker terdengar dari pelengkung tersebut. Sering orang setiap sore mendengar suara, "Biyung... tulung, biyung... tulung...!". Menurut mereka, itulah suara penyesalan Kartipeya. Bukannya malah takut, saya yang berumur 11 tahun heran, kenapa pemuda flamboyan gagah tersebut diujung hidupnya malah meminta pertolongan kepada biyungnya, bukan kepada Batari Durga yang memberinya kesaktian.
Bagiku, ibu adalah makhluk yang rumit. Ia dikelumuti ketidakadilan. Air matanya gampang menetes, tapi tulang punggungnya sukar bengkok. Kombinasi yang aneh. Atau seperti justifikasi Sulaiman an-Nadawi dalam menulis buku Aisyah r.a yang mengatakan bahwa perempuan dan sifat qana'ah adalah dua hal yang berseberangan dan dua prinsip yang berbeda. Kemudian Sulaiman an-Nadawi menghubungkan dengan pernyataan Rasulullah SAW bahwa perempuan adalah penghuni neraka terbanyak karena sering mengucapkan laknat dan mengkafir-kafirkan orang.
Sajak karya penyair perempuan 1920-an, Anna Akhmatova, tentang Istri Lot. Ia menulis berdasar kisah pada Perjanjian Lama tentang kehancuran Kota Sodom. Ketika Tuhan menyuruh Lot membawa isri dan kedua anaknya menyingkir ke lain kota, seraya dipesan untuk tidak menoleh kebelakang. Lot dan kedua anaknya selamat. Tapi istri Lot menoleh ke belakang lalu akhirnya menjadi tiang garam. Tidak pula ditanyakan dan tidak pula dijelaskan dalam Alkitab apa sebab istri Lot tidak patuh. Atau mungkin dalam agama, perempuan sering dianggap tidak penting.
Aku sangat tak mengerti. Bagiku ibu adalah puncak definisi keikhlasan. Aku merasa relung qana'ah terdalam ada padanya. Dia adalah makhluk paling konservatif namun menjadi paling modern yang pernah ku kenal saat mengungkapkan teori-teorinya. Salah satunya, teori tentang mengkonsumsi teh secara rutin akan menjaga gigi lebih awet. Terbukti gigi-gigi manula di tempat kelahirannya di Jawa Tengah masih utuh dibanding gigi-gigi manula ditempat tinggalnya saat ini yang gemar meminum kopi. Aku tak tahu teori itu benar atau salah, ibu dan akupun tak pernah mengujinya. Tapi yang jelas ia makhluk yang selalu melakukan penelitian.
Namun aku memahami, Anna Akhmatova adalah seorang perempuan. Dan Sulaiman an-Nadawi tetaplah laki-laki. Seberapapun dimengertinya perempuan, akan selalu berselisih pada sudut pandang. Seringkali aku mengernyit menggumamkan celah-celah ketidaksetujuan ketika aku membaca buku tentang perempuan yang dikarang oleh laki-laki. Aku akan berteriak, tahu apa kalian laki-laki soal isi hati perempuan!, tapi kemudian akan dibalas bagaimana bisa seseorang menilai dirinya dari sudut pandangnya sendiri, pasti penilaian itu akan sangat timpang dan tidak netral!. Tapi tentunya aku tak rela ketika perempuan dijustifikasi suka mengkafir-kafirkan orang, karena ibu adalah orang paling humanis yang pernah ku kenal.
Sajak karya penyair perempuan 1920-an, Anna Akhmatova, tentang Istri Lot. Ia menulis berdasar kisah pada Perjanjian Lama tentang kehancuran Kota Sodom. Ketika Tuhan menyuruh Lot membawa isri dan kedua anaknya menyingkir ke lain kota, seraya dipesan untuk tidak menoleh kebelakang. Lot dan kedua anaknya selamat. Tapi istri Lot menoleh ke belakang lalu akhirnya menjadi tiang garam. Tidak pula ditanyakan dan tidak pula dijelaskan dalam Alkitab apa sebab istri Lot tidak patuh. Atau mungkin dalam agama, perempuan sering dianggap tidak penting.
Aku sangat tak mengerti. Bagiku ibu adalah puncak definisi keikhlasan. Aku merasa relung qana'ah terdalam ada padanya. Dia adalah makhluk paling konservatif namun menjadi paling modern yang pernah ku kenal saat mengungkapkan teori-teorinya. Salah satunya, teori tentang mengkonsumsi teh secara rutin akan menjaga gigi lebih awet. Terbukti gigi-gigi manula di tempat kelahirannya di Jawa Tengah masih utuh dibanding gigi-gigi manula ditempat tinggalnya saat ini yang gemar meminum kopi. Aku tak tahu teori itu benar atau salah, ibu dan akupun tak pernah mengujinya. Tapi yang jelas ia makhluk yang selalu melakukan penelitian.
Namun aku memahami, Anna Akhmatova adalah seorang perempuan. Dan Sulaiman an-Nadawi tetaplah laki-laki. Seberapapun dimengertinya perempuan, akan selalu berselisih pada sudut pandang. Seringkali aku mengernyit menggumamkan celah-celah ketidaksetujuan ketika aku membaca buku tentang perempuan yang dikarang oleh laki-laki. Aku akan berteriak, tahu apa kalian laki-laki soal isi hati perempuan!, tapi kemudian akan dibalas bagaimana bisa seseorang menilai dirinya dari sudut pandangnya sendiri, pasti penilaian itu akan sangat timpang dan tidak netral!. Tapi tentunya aku tak rela ketika perempuan dijustifikasi suka mengkafir-kafirkan orang, karena ibu adalah orang paling humanis yang pernah ku kenal.
Tulisan ini mungkin sangat feminis dan getir. Tapi mungkin kalian lupa, aku adalah perempuan. Ibu bisa menjadi manusia yang penuh pertimbangan namun juga keras kepala dalam sekali waktu. Ibu bisa menjadi sangat fundamentalis sekaligus sangat liberal ketika bersinggungan dengan masalah pendidikan, teknologi dan ekonomi. Dan aku selalu mahfum, seberapapun tinggi pendidikanku takkan bisa menyaingi secuil kecerdasan ibu Aisyiyah ku.
Aku rasa, baik tokoh protagonis politik yang mengagung-agungkan ibu dibalik kesuksesan karirnya, ataupun tokoh antagonis semacam Kartipeya, bagi mereka definisi ibu agaknya sama. Ibu adalah puncak pengharapan terakhir mereka.
Aku rasa, baik tokoh protagonis politik yang mengagung-agungkan ibu dibalik kesuksesan karirnya, ataupun tokoh antagonis semacam Kartipeya, bagi mereka definisi ibu agaknya sama. Ibu adalah puncak pengharapan terakhir mereka.
Much love,
Karima Sindhunanti
Karima Sindhunanti
Komentar
Posting Komentar