TAK MALU UNTUK MEMINTA


Cr: Owner


Satu catatan yang digarisbawahi dalam artikel ini, kita, orang Indonesia surely adalah orang yang ribet. Sadar ataupun tidak kita mengembangkan budaya atau kultur-kultur yang menyusahkan dan sangat tidak perlu. Saya ambil contoh spesifik, budaya meminta atau membawakan oleh-oleh dan bingkisan. Dalam artian kedua belah pihak, baik yang meminta maupun yang membawakan.

Manusia pergi menggenapi rukun Islamnnya menunaikan haji, menabung setengah mati seumur hidupnya. Sangat mahal, ditarik biaya ini itu dan bahkanmasih sempat dikorupsi di level lebih tinggi. Kemudian masih harus menyediakan uang tak kalah banyak nantinya untuk menjamu tamu yang bersilaturahmi selepas haji. 

Menyediakan kue, air zam-zam kemudian memberikan sajadah, tasbih atau kurma sebagai bingkisan. Para tamu pun berpulang. Berjalan sambil membuka bingkisan, kemudian berkata "Pergi ke Arab kok oleh-olehnya made in Indonesia". Yang lain tertawa dan menyetujui celetukan ini, kemudian pulang ke rumah masing-masing dengan riang tanpa beban.

Beberapa bulan yang lalu melihat ibu pulang dari menjenguk tetangga yang habis melahirkan, membawa gelas porselen di dalam kotak coklat rapi. Ibu bilang sekarang tren baru dalam dunia beranak pinak adalah memberi bingkisan kepada yang menjenguk. Tidak tahu siapa yang mengawali, tapi yang jelas setiap rumah tangga yang mempunyai bayi baru lahir menjadi latah ikut melakukan budaya baru ini. Kaya atau miskin tak kenal ampun, jika nekat tak memberi bingkisan bersiap saja kuping panas dipergunjingkan sekampung.

Apakah yang pergi haji itu membayar biaya perjalanannya sambil kipas-kipas, atau apakah biaya persalinan di rumah sakit itu dibayar pakai daun? Why we make other's peoples life so hard? Kenapa  kita suka mempersulit, jika Allah SWT sendiri telah bersabda bahwa Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran dalam Al-Baqarah ayat 185?

Agama misalnya mengajarkan ketika suatu keluarga tertimpa musibah kematian, tetangga bertugas membuatkan masakan dan minuman untuk meringankan beban keluarga yang ditinggalkan. Tapi kenapa disituasi yang lain kita membuat ibu yang masih harus memikirkan biaya susu, kesehatan dan biaya pendidikan anaknya kelak masih juga harus memikirkan biaya grosir ratus lusin gelas porselen? Kenapa kita tidak menjadi pribadi-pribadi yang membiarkan para jamaah melakukan perjalanan spiritualnya dengan tenang tanpa harus memikirkan apakah stok sajadah dan tasbih cukup untuk semua tamu yang akan datang kelak.

Saya belum berhaji, atau bahkan kepikiran untuk mempunyai anak, tapi ada satu lagi contoh budaya jelek yang tanpa disadari telah menjadi kebiasaan. Dengan enteng basa-basi minta oleh-oleh kepada teman yang sedang liburan (oleh-oleh ya, berbeda dengan nitip).

Kita tidak tahu kondisi keuangan teman yang sedang berlibur, belum lagi susah tidaknya mencari barang tersebut. Tidak juga sampai terpikir bagaimana tidak enak hati dan sungkannya teman yang menolak untuk tidak membelikan oleh-oleh. Bagi yang suka menagih oleh-oleh, orang lain berlibur itu artinya berbelanja banyak. Padahal oleh-oleh itu perkara ikhlas, ikhlas dari kedua pihak.

Budaya meminta oleh-oleh ini sangat sickening, seperti aji mumpung kalau ternyata dapat gantungan  kunci ya lumayan, kalau yang dimintain oleh-oleh tidak memberi apapun dikata-katain pelit. Bukankah tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah? Kita itu minta lho, gak malu ya ngemis-ngemis?

I know some of you pasti berpikir, ahelah sis, cuman urusan oleh-oleh aja disambung-sambungkan ke hadist, jadi orang kok serius amat. Iya, mungkin yang urusan plesiran urusan remeh temeh ya. Tapi kalau kita punya mindset suka minta oleh-oleh dianggap hal normal, bukan tidak mungkin kita bakal naik ke step berikutnya. "Itu abah haji juragan kembang, tapi oleh-olehnya cuma kopyah lima belas ribuan." Lima belas ribu juga duit, nyet.

Pergi haji, melahirkan anak sampai resepsi pernikahan tidak diharuskan memberikan bingkisan, kenapa kita yang cuma tamu, mendapatkan barang gratisan malah melontarkan kalimat yang kalau terdengar bisa membuat tuan rumah sakit hati bukan main. Kita dibesarkan diharapkan menjadi masyarakat yang kritis, bukan masyarakat nyinyir tukang cela.

Saya tak tahu bagaimana kebudayaan negara Asia lain apakah hampir sama seperti Indonesia atau tidak soal masalah ini, tapi bisa saya pastikan orang barat tak pernah direpotkan membeli oleh-oleh ketika sedang berlibur, melakukan perjalanan spiritual atau perjalanan dinas ke kota/negara lain.

Cukupkan dengan mengucapkan selamat berlibur, selamat menunaikan ibadah haji atau selamat telah dikarunia bayi dan ibu yang sehat. Kemudian doakanlah keselamatan mereka dengan ikhlas. Tak kurang tak lebih. Tidak mempersulit kehidupan orang lain. Tuhan tidak rumit, manusia yang membuatnya demikian.


Much Love,
karima Sindhunanti

Komentar

  1. Hanya saja seringkali si pelancong jg punya budaya yg tak kalah lucu dan menggemaskan terlebih di dunia yang saat ini bagaikan tak perlu waktu lama untuk mendapatkan informasi.

    Ada seorang syaikh dari Masjid Nabawi yang membahas lucunya jamaah umroh atau bahkan haji dr Indonesia yg gemar selfie. Yang paling konyol selfie tetap dilakukan saat sholat jumat dan khatib masih menyampaikan khutbahnya

    Hasil jepretan selfie itu tak menunggu lama untuk segera diposting, kasih caption bijak dan upload.. Tentu sanak family dan handai taulan di Indonesia jd terbuka matanya mendapat sliweran foto2 yang tentu memiliki beragam respons.

    So, seperti sebuah film yg diperankan oleh Aktor seribu watak Reza Rahadian berjudul Alangkah Lucunya (negeri ini) maka saya ucapkan selamat, Anda adalah salah satu warga negaranya..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer