PALESTINA BUKAN MILIK ISLAM

24 Desember 2016, berpuluh rakyat Palestina di Tepi Barat berkumpul, berlarian ketika gas air mata ditembakkan, maju mundur, beradu badan dengan tentara Israel. Beberapa diantara mereka memakai kostum Santa Claus. Beberapa dari mereka meneriakkan lafal Allahuakbar. Mereka berdemo, menuntut akses yang tak terbatas ke dalam tempat-tempat suci di Yerusalem. Pemandangan yang biasa sebenarnya untuk rakyat Palestina, ketika gadis memakai jilbab menggandeng lengan temannya yang memakai kostum Santau Claus, membentuk barikade, berteriak sambil membawa poster menuntut kebebasan dalam menjalankan ritual peribadatan. 


Cr. Alarabiya

Hampir 30 tahun sebelumnya, George Habash, Nasrani Palestina yang telah mengangkat senjata melawan Israel bahkan ketika Hamash masih berbentuk sperma. Seorang Nasionalis Arab, baginya kemerdekaan Palestina adalah final. Tak sudi kiranya ia membagi tanah airnya dengan bangsa lain. Sikap berseberangan yang ia tunjukkan ketika Yasser Arafat menandatangani Perjanjian Damai OSLO pada tahun 1993. 

Habash, lewat partai politiknya Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) kerap memiliki pandangan yang berseberangan dengan Arafat. Habash seorang militan nekat, tapi juga revolusioner. Baginya dan partainya, Arab dan Yahudi, dan minoritas lain memiliki hak hidup yang sama, hidup tanpa jajahan. Berbeda dengan Arafat yang memberikan solusi dua negara berdampingan yang menempatkan Palestina sebagai pemerintahan Otoritas Palestina dengan hanya membawahi Jalur Gaza dan Tepi Barat. 

George Habash mengecam rencana perdamaian Israel-Palestina yang disponsori A.S. dalam sebuah pidato di Beirut, 11 Maret 1979 (cr. Time)

Habash mungkin juga yang mengenalkan pada dunia aksi membajak pesawat. Pada tahun 1970, unit 'terorisme' PFLP membajak 4 pesawat sekaligus dalam satu waktu, kemudian meledakkan 3 diantaranya, yang kemudian sangat mungkin menjadi inspirasi bagi Osama Bin Laden dan Al-Qaeda pada aksi yang sangat terkenal pada 11 September 31 tahun kemudian. 

Lambat laun empati terhadap ideologi partai PFLP menguap. Puncaknya pada pemilu tahun 2006, PFLP hanya mendapat 2,45% suara. Jauh dari Fatah yang mendapatkan 41,43%, dan kemenangan mengejutkan Hamas dengan 44,45%. Meskipun menurut hemat saya sebenarnya Hamas dan PFLP memiliki banyak kesamaan dalam pandangan politik dan cita-cita satu negara Palestina. Dua fraksi ini sama-sama merupakan bentuk anomali luapan kekecewaan rakyat Palestina yang jengah dengan gerakan politik diplomasi Fatah dan Yasser Arafat, karena malah banyak menguntung pihak Israel. 

Baik PFLP maupun Hamas merupakan sebuah oase di gurun pasir Palestina pada masanya. Sama-sama revolusioner, walaupun militan. Atau bahkan ekstremis, seperti halnya PFLP (dan pemikiran George Habash khususnya) yang menganggap segala bentuk manuver Israel harus dihadang dan dibalas, tak segan menggunakan politik kekerasan dan teror, jika memang itu diperlukan. 

60 tahun lebih memperjuangkan ideologi impian 'satu-negara Palestina', Habash tumbang terkena serangan jantung pada 26 Januari 2008. Palestina berkabung selama tiga hari. Dua hari setelahnya, majalah The Times memuat obituary khusus untuk Habash, dan menjulukinya sebagai "Terrorism's Christian Godfather". 

Segala upaya pembebasan Palestina , baik oleh Islam atau Nasrani, atapun berbagai macam bentuk ideologi kelompok patut disebut sebagai kontributor perjuangan kemerdekaan. Oleh karena itu, konflik Palestina - Israel sesungguhnya lebih cocok disebut sebagai sengketa antar dua bangsa, Arab dan Yahudi, Palestina dan Israel. Bukan sepenuhnya konflik antara Islam dan Judaisme, seperti yang sering diketahui dan dipropagandakan di Indonesia. 

Jika dinyatakan bahwa penjajahan Yahudi hanya kepada umat muslim Palestina tentu saja itu mengerdilkan. Kebebasan diperjuangkan lebih dari setengah abad yang lalu oleh rakyat Arab palestina. Dan juga pembatasan peribadatan tak hanya diberikan kepada Masjidil Aqsa, tapi juga pada Church of the Holy Sepulchre, makan kudus yamg diyakini sebagai tempat dimana Yesus disalib. Atau bahkan ke semua Masjid, Gereja, Katedral, makam-makam Nabi yang dipercayai oleh ketiga agama, baik di Betlehem, Ramallah hingga Yerusalem. 

Tanpa merendahkan dan tidak bermaksud untuk tidak mengindahkan tokoh-tokoh perjuangan pembebasan Palestina yang lain (yang tentunya sangat banyak, baik tokoh Islam, Nasrani, berideologi moderat maupun yang fundamentalis), George Habash merupakan tokoh menarik, penganut paham marxisme namun liberal, namun juga militan. Otaknya berlandaskan berbagai paham yang sebenarnya susah untuk melebur, tapi kemudian itulah yang menjadikan George Habash seorang revolusioner.


Much love, Karima Sindhunanti.

Komentar

Postingan Populer